Kamis, 16 Agustus 2012

KEMENANGAN YANG TERKALAHKAN

Detik-detik menjelang perayaan HUT RI ke-67 tahun ini terasa cukup istimewa. Dirasa seperti demikian mengingat perayaan HUT RI berbarengan dengan penghujung bulan Ramadhan 2012 yang mana keduanya memiliki persamaan linguistik dan etimologi yang mengakar bagi masyarakat Indonesia. Persamaan tersebut terangkum dalam sebuah kata yang familiar di telinga kita yaitu, Kemenangan. 

Kemerdekaan sebagai Sebuah Kemenangan

Kemerdekaan bangsa dan negara kita secara de facto tersiar ke seluruh antero negeri kita, ketika Bung Karno mengumandangkan naskah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jakarta. Seluruh rakyat terutama yang telah terhubung oleh radio mendengarkan Pidato Sang Proklamator dengan perasaan haru dan gembira yang membuncah setelah lebih dari tiga ratus tahun kita terkungkung dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme barat. Tak ayal, euforia kemerdekaan dimaknai sebagai kemenangan tekad dan semangat elemen seluruh bangsa dan negara untuk melawan ketidakadilan yang diciptakan oleh para penjajah. Maka terhitung sejak itulah kita menamakan bangsa kita sebagai bangsa yang MERDEKA. 

Sudah barang tentu menjadi kewajiban seluruh rakyat dan pemerintah pada zaman itu dan sekarang untuk terus mempertahankan kemerdekaan dari cengkeraman kaum imperialis, kolonialis, dan feodalis yang semata-mata menguras kekayaan bangsa di atas air mata dan darah bumi pertiwi, Indonesia. Hal tersebut terlihat dari historis bangsa kita dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949), dimana seluruh anak negeri bersatu padu melawan kekuatan asing yang mencoba kembali mengoyak negeri ini. Tak terhitung berapa nyawa yang harus dipertaruhkan. Tak lagi bisa diukur berapa banyak cucuran darah para pejuang dan tangisan ibu-ibu yang merelakan anak dan suaminya bertempur di medan laga. Meski tiada persenjataan yang memadai. Kemampuan bertempur yang sederhana dan segudang kekurangan pada masa itu tetapi semuanya rela dilakukan dan dikorbankan demi sebuah nama, Kemerdekaan.

Oleh karena itulah, kemerdekaan jauh lebih dimaknai sebagai kemenangan batiniah daripada sekadar kemenangan harfiah belaka. Hal ini jika ditarik kepada perspektif yang lebih dalam, memunculkan sebuah definisi sederhana namun memiliki makna yang mengakar dalam hati sanubari seorang Indonesia tentang kemerdekaan itu sendiri. Bahwa kemerdekaan adalah sebuah kemenangan anak bangsa yang diperoleh dengan niat dan motivasi yang kuat untuk mencapai perikehidupan kebangsaan yang lebih baik dan mulia.

Idul Fitri sebagai Sebuah Kemenangan 

Sama halnya dengan Peringatan HUT RI, Hari Raya Idul Fitri adalah sebuah hari kemenangan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa yang mana di dalamnya manusia sedang bertempur melawan hawa nafsunya sendiri. Selama satu bulan setiap orang mukmin diwajibkan menahan lapar, dahaga, marah, dan syahwatnya untuk mencapai tingkatan kehidupan ukrawi yang lebih tinggi. Peperangan ini jauh lebih berat mengingat peperangan ini terlihat bersifat individualistik namun jika ditelaah lebih dalam terdapat unsur kesalehan sosial yang merupakan pondasi kehidupan bermasyarakat. Maka tak ayal jika Pemimpin Besar Muslim Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa berperang melawan hawa nafsu diri sendiri adalah peperangan yang paling besar, sebagaimana diucapkan oleh Muhammad SAW sepulangnya dari pertempuran besar antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy di Badar. 

Puasa mendidik kita untuk ikut merasakan kehidupan mereka yang papa. Puasa mendidik kita menjadi orang yang lebih sabar dalam menghadapi permasalahan dengan orang lain. Puasa mengajari kita untuk lebih menghargai mereka yang berbeda. Puasa mendidik kita untuk menahan syahwat yang terkadang tidak terkontrol dan merupakan cikal bakal rusaknya moral. Puasa memberikan waktu kepada kita untuk menjalin silaturahmi. Puasa mengajarkan kita lebih banyak memberi daripada menerima. Puasa mengajarkan kita untuk lebih banyak tunduk daripada mendongak lewat ibadah-ibadah mahdlah yang diberikan waktu lebih panjang daripada hari-hari di luar bualan Puasa. Puasa mengajarkan kita untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dan masih sederet lagi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 

Jika kita menelaah sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, puasa mengandung nilai-nilai kesalehan sosial yang membangun masyarakat. Perspektif filosofis tentang makna Puasa dan Idul Fitri memunculkan definisi bahwa Idul Fitri adalah kemenangan mutlak seorang manusia untuk menjadi manusia yang lebih mulia tingkatannya di hadapan Tuhan dan terciptanya harmoni kehidupan bermasyarakat. 

Realita Kemenangan

Makna dan definisi yang telah disebutkan di atas menjadi bias begitu kita melihat kepada realita sosial yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat kita. Kemerdekaan dianggap belum tercapai secara sempurna. Masih banyak di antara kita yang merasakan ketidakadilan sosial sehingga memunculkan friksi-friksi yang menjurus ke arah kriminalitas dan menurunkan standar moral kehidupan bermasyarakat. 

Ketidakadilan menjadi suatu permasalahan bangsa yang harus dicarikan penyelesaiannya. Karena jika tidak, ketidakadilan akan menjadi bom waktu yang akan meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan perkebangsaan kita. Selama kata-kata “kami” dan “kamu” masih lebih mendominasi daripada kata “kita”, tentu semangat integralistik keadilan sosial hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. 

Kita saat ini membutuhkan pemikiran yang bersumber dari nurani bukan dari sekadar logika rasional yang empiris. Keteladanan sosial dengan menyusun skala prioritas kebangsaan perlu untuk ditunjukkan oleh para pemimpin kita dan terlebih diri kita sendiri. 

Bukankah itu merupakan hasil yang ingin dicapai dengan ibadah puasa kita ? 

Jika kita tidak menyadari itu tentu kita akan terjebak dan kembali tersekat oleh isu-isu sensitif masalah primordialisme dan ekslusivisme kelompok-kelompok. 

Bukankah salah satu esensi puasa kita adalah untuk menciptakan silaturahmi ? Namun mengapa kita malah memutusnya ?

Jika kita tidak menyadari itu tentu kita akan terkungkung dalam definisi sempit pluralisme dan multikulturalisme yang akhirnya kembali mengotak-ngotakkan kita kepada paham sempit berbau SARA.

Bukankah esensi puasa kita adalah untuk mampu merasakan penderitaan mereka yang papa?
Jika kita tidak menyadarinya tentu hedonisme yang akan tumbuh subur dan semakin lebarnya gap inter-kelas-sosial yang pada akhirnya justru muncul madzhab “asal perut kenyang, resiko ntar dlu lah”. 
Bukankah dan jika yang lain akan segera bermunculan jika terus menggali sampai dasar. Namun penulis membatasi pada yang terjadi di dalam kelas sosial penulis bukan pada tataran di atasnya. Tentu jika ditelisik lebih jauh, maka lebih rumit lah permasalahan sosio-kultural kita yang terkoyak-koyak ini. Dan sentimen negatif serta jebakan sosio-politik akan semakin nampak.

Akhirnya, kembali penulis tegaskan mari kita bergandeng tangan bahu membahu membangun diri kita dan memberikan keteladanan pada lingkungan sosial kita agar kita terus mampu beribadah sebagai wujud kesalehan sosial kita. 

Sebagai penutup, permasalahan kemenangan mari kita simpan secara pribadi serta kita kaji pula secara pribadi sebagai rangkaian muhasabah karena permasalahan menang atau kalah atau bahkan mengalah sekalipun adalah urusan hati kita dengan diri kita dengan saksi yang paling adil yaitu Tuhan. 

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-66 
dan 
Selamat Merayakan Hari Raya Idul Fitri 1433 H.


copyright __Maulana Hikam__
Profil Penulis https://www.facebook.com/maulana.hikam

Kamis, 14 Juli 2011

Blue Sky on The Beach Jasri

Masih terdengar suara Adzan subuh mengumandang,, udara yang dingin masih membelenggu badan ini hanya berselimut sarung kain yang tipis kita diharuskan untuk bangun sekitar jam 04.30 WITA atau kalau disamakan dengan waktu surabaya sekitar 03.30. tetesan air dingin kamar mandi yang keluar dari kran biru ini menemani saat mandi. . . . kabut tipis menyambut badan yang telah segar disiram oleh air yang disedot dari sumur untuk keperluan mandi ini. malas rasanya pagi-pagi buta seperti saat ini untuk pergi mandi, namun dikarenakan tugas yang harus dikerjarkan dan demi pembelajaran yang saya dan kawan2 impikan.
semua rasa dingin dan malas memang harus dihantma dan dihajar oleh segelas energen sereal yang kita minum sebelum berangkat, hehehhe maklum anak kost jadinya yang murah2 aj dan simple, pagi2 buta gini jarang sekali ada penjual makanan....

Tpat jam 06.00 Wita kami sampai ke kantor balai PU Bali. seperti biasa perlengkapan yang saya bawa adalah kawan setia si Eg dan si GElY alat tranport kesayangan dan tak lupa anggota baru si-D31 yang menambah kelengkapan perjalanna,, seperti biasa rekan berkendara saya si Asin yang selalu membonceng, heheh maklum dia tidak bisa mengendarai sepeda motor cowok katanya, hehhe
sebelum berangkat ke tempat tujuan untuk dilakukannya surve batimetri. oh y sala lupa bilang kalau sebenarnya tujuannya ke pantai jasri untuk melakukannya surve batrimetri, hehehhe baru ingat rekk,,,,,,,

berdo'a dulu pastinya kita lakukan setiap kali akan berpergian kemanaun. dalam perjalanan kali ini memang lumayan jauh dikarenakan letak pantai jasri yang berada di kabupaten karng asem Bali ini berada sekitar 68 Km ke arah timur dari kota denpasar sebagai central pemerintahan. jarak yang jauh tan menyurutkan semngat saya untuk tetap berangkat mencari ilmu, seperti pepatah cmengatakan "carilah ilmu itu sampai ke negeri Cina" heheheh jadi akan aku kejar kemanapun itu ... hoohoohoh (sok yes yah saya..:D ).. berputarlah roda roda si GElY menyusuri jalan raya di kota denpasar ini lumayan sejauh mata memandang terdapat sawah, dunung, dan laut yang menghiasi perjalanan ini. perjalanan yang melewati jalur baypass sebelah timur dari kota denpasar ini. jalan yang lekokk dan berliku serta naik turun menambah sensasi perjalanan yang indah ini, hehheheh sejuk memang udaranya. maklum samping jalan daerah pegunungan dan kanan jalan sudah mau nyampek daerah pantai, banyak tempat daerah daerah wisatawab yang dilewati saat perjalan menuju tempat pantai jasri.

Cukup sekitar 3 jam saja kami sudah sampai di tempat lokasi surve bathimetri ini akan dilakukan. panjang pantai sekitar 4 KM akan dilakukannya surve dengan memperhatikan pasang surut yang ada juga....


it's blue sky on the beach jasri, meskipun tergolong jauh dari denpasar, banyak juga turis yang ada di daerah ini, ada yang sengaja mencari tempat wisata dan ada yang memang sedang bulan madu dan liburan, hehhehhe....

tak sengaja juga mata saya melirik sebuah sudut pandang yang berbeda dari pantai ini, sungguh indah sekali untuk dipandang (menurut saya tapi) hehheheh :d  best view dari yang laen sch kalau saya bilang  heheh tapi namnya keberuntungan yang ada. namun alangkah bagusnya lagi kalu ada moment yang lebih pas, saran dari temen2 pecinta fotografi, foto yang sama ini pernah saya share kan kepada mereka semuanya untuk mendapatkan koreksi, hehheheh maklum masih newbee...... check it out dah..... hehhehe monggo .............. :D


itu perjalanan surve ke pantai jasri yang indah namun memang  perlu dibangun pelindung pantai, karena gelombang pecah yang langsung menghantam dinding pantai .... T,T sangat disayangkan kalau pantainya sampai terjadi erosi kawan.......

Selasa, 12 Juli 2011

Sunset Of Uluwatu

Minggu, 10 Juli 2011 menjadi saksi bisu kedatangan saya di luwatu, tempat suci yang menjadi salah satu tujuan wisatawan asing maupun domestik. Pura Luhur Uluwatu atau Pura Uluwatu merupakan pura yang berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung.
Pura yang terletak di ujung barat daya pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut ini merupakan Pura Sad Kayangan yang dipercaya oleh orang Hindu sebagai penyangga dari 9 mata angin. Pura ini pada mulanya digunakan menjadi tempat memuja seorang pendeta suci dari abad ke-11 bernama Empu Kuturan. Ia menurunkan ajaran Desa Adat dengan segala aturannya. Pura ini juga dipakai untuk memuja pendeta suci berikutnya, yaitu Dang Hyang Nirartha, yang datang ke Bali di akhir tahun 1550 dan mengakhiri perjalanan sucinya dengan apa yang dinamakan Moksah atau Ngeluhur di tempat ini. Kata inilah yang menjadi asal nama Pura Luhur Uluwatu. (from: http://id.wikipedia.org/wiki/Pura_Luhur_Uluwatu )


Pertama kali saya injakkan kaki berbalut sandal Eiger favorit saya dalam melakukan petualangan dan belajar di pulau dewata ini, si GelY pun kini melanglang buana bersama saya di pulau dewata yang belum pernah saya jamah mneggunakan sepeda motor...  finally, hampir sekitar satu jam si GelY, saya dan kawan saya si Asin melaju dengan 60 Km/jam menuju tempat Uluwatu. sejauh mata memandang memang tak heran dimana-mana ada turis luar negeri maupun domestik sndiri. cukup dengan Rp 3000,- menjadi fee past untuk bisa masuk kedalam, namun masuk kedalampun tidak boleh sembarangan, kita harus memakai sarung atau ikat pinggang  khas bali, karena syarat masuk daerah pura suci ini, ....

agak aneh namun seru, ketika saya diberi sarung dan kain pengikat pinggang juga.... kenapa aneh karna hanya saya yang mendapatkannya, biasanya hanya salah satu yang mendapatkannya. kawan2 yang lain hanya mendapatkan satu saja.

Sebelum masuk lebih dalam. terdengar suara teriakan turis domestik, meneriakan kaca mataaa sayaa...... kaca mata sayaa,,,  tolongg.... toolonnggg.....!!! tak jauh dari sumber suara itu saya melihat seekor monyet yang sedang berlai mengambil kaca mata turis itu. ..... nice moment yang ada di pikiran saya yang sedang pegang kamera DSLR Nikon D5100 dengan lensa Kit yang masih standart. tak sampai 5 menit monyet itu pun turun kedalam jurang dan entah ap yang terjadi saya pun tak tau menahu dikarenakan batasan pandangan yang saya miliki.... hemmm.... sekitar jam 6 sore saya menemukan pandanganyang yahudddd dan memanjakan mata.. hanya sedikit waktu yang saya miliki agar bisa mengabadikan moment yang dramatis nan indah ini.... :D /......
dikeramain nan ricuh ini jepretan saya lakukan... jeeppreettt......  kamera saya memotret gambar dramatis yang sungguh indah, keindahan yang diberiakn oleh sang maha kuasa ....
nice momont yang sangat indah,,,  buat saya keindahan alam yang menjadi daya tarik tersendiri. potret alam memang menjadi kan daya tarik tersendiri yang saya acungi jempol. karena dengan alamlah kita bisa belajr dan berusaha mendekatkan diri dengan kebesan sang ilahi,,,, subhanallah yang bisa saya ucapkan melihat kebesaran sang Khaliq betapa kecilnya diri hamba ini melihat secuil kebesanMu, ....


Sebenarnya masih ad moment yang membuat saya melirik pandangan kamera saya, namun karena keasikan memotret, jatah untuk masuk kedalam acara tari kecak saya lewatkan, heheheheh :p

meliaht keindahan alam dengan sisi yang berbeda saya mulai hunting kembali, heheh sedikit kesempatan dengan waktu yang singkat saya mamfatkan untuk mengambil moment berikut ini...
waktu juga yang memanggil kita semua untuk segera kembali dalam perjalanan pu;ang adzan magrib yang hanya bisa di dengar dalam hati ini saya rasakan karena susah sekali mencari masjid kalau di Bali, heheheh kembali lah mengendarai si GElY untuk kembali ke kontrakan yang nyaman. heheheh
perjalanan hari ini mungkin sampai segitu dulu disambung nanti dalam perjalannan petualangan selanjutnya...

check it out............

nyanyain seorang pemulung....

Kawan, kadang kita tidak tau ap yang kita lakukan untuk masa sekarang ini, yang hanya bisa kita pikirkan adalah bagaimana memenuhi semua keinginan kita sendiri.... manusia memang tidak pernah ada puasnya dengan ap yang kita miliki. alam bawah sadar yang menjadikan sesuatu bagi kita menjadi tameng kita ketika kita melakukan sadar?? hemmm,,,,, akankah kita selalu menyalahkan alam bawah sadar kita ketika melukukan hal yang bodoh dan memalukan, sebagai manusia yang sosial, kadang kita harus bisa melirikkan pandangan kita kebawah dan janganlah meliaht keatas,,,,, sampai kapan kita akan melihat ke atas terus? sampai kita menjadi orang yang sukses???? ada pepatah mengatakan, "di atas langit masih ada langit"  pepatah ini sering kita dengarkan, namun kita tak tau apa sebenarnya makna yang terkandung dalam kalimat tersebut...

Hari itu memang menjadi hari yang sangat luar biasa, hari dimana saya harus bisa berpikir lebih keras dan memacu jantung saya untuk tetap bertahan akan pola pikir yang tak menentu jalannya. angin yang biasanya berhembus membelah rerumputan halaman laboratorium kini tak bisa ku lihat. hanya suara tetesan air yang keluar dari kran kamar mandi yang telah rusak karena sering di buka dan di tutup dengan paksa. jangkrikpun menemani suara itu menjadi riuh dan gaduh dalam keheningan malam hari ini. sering ku berpikir kenapa orang selalu merasa ingin segala hal yang menjadikan dia PUAS. pernahkah mereka berpikir bagaimana dengan nasib orang yang hanya setiap harinya makan seadanya, dengan baju yang hanya cukup menutupi setengah badannya untuk melawan dinginya malam dan panasnya siang hari.

Para pemimpin sibuk dengan urusan sana sini dan situ untuk mengurusi kebutuhan pribadi mereka. adakah mereka melirik pada masyarakat yang selalu membutuhkan uluran tangan yang begitu berarti, manusia yang seharusnya diberlakukan seperti manusia sangatlah sukar kita temui, aku adalah aku, seorang mahasiswa ITS yang kadang melihat orang yang seharusnya dia tidak panyas melakukannya, namun hyanya karna demi sesuap nasi yang harus dia makan bersama keluarganya......
heyyy.... pemerintah yang baik hati, dimanakah hati nurani kalian ketika ada rakyat yang harus mengemis demi sesuap nasi.. bagaimana dengan pasal pasal 27 ayat 2 UUD 1945

Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(dikutip dari website: http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/Constitution/22/

perlu sangat dan sangat dipertanyakan tentang beredaan pasal ini, yang salah siapa? masyarakatnya???, UUDnya atau siapa? kita tak pernah mampu menyelesaikannya dengan bijak, pemerintah malah sibuk dengan pemberantasan koropsi, cuman gara2 nyolong avocado seorang bocah dihukum 5 Tahun penjara, sedangkan para koruptor yang melarikan uang rakyat melarikan diri dan bersenang2 diluar negeri sana? mana kah keadilan ini????? rakyat yang menjadi korban, rakyatlah yang menderita.....


mari kawan,,,, bagi kalian yang merasa dan peduli dengan bangsa ini, liriklah pandangan kalian ke bawah, jangan selalu melihat ke atas..... mulailah dari kita sendiri untuk berusaha memberikanhak mereka demi memanusiakan manusia yang seharusnya mereka dapatkan dari pemerinta.... kalau bukan kita siapa lagi yang bisa melakukannya, kalau bukan sekarang, kapan lagi kita bisa membantu meraka....


nyanyain seorang pemulung....

Minggu, 03 April 2011

Istriku yang tak Mau digauli

sumber VIVAnews-Metro-Minggu, 3 April 2011, 13:36 WIB
Ismoko Widjaya, Febry Abbdinnah
 
Foto pernikahan Icha dan Umar (tvOne)
VIVAnews - Berawal dari perkenalan di Facebook, Muhammad Umar (32) menikahi ‘gadis’ bernama Fransisca Anastasya (19) alias Icha. Setelah enam bulan pernikahan berjalan, baru diketahui bahwa sang istri yang memakai jilbab itu ternyata seorang pria. Nama asli Icha adalah Rahmat Sulistiyo.

Icha mengaku berprofesi sebagai pramugari di sebuah maskapai penerbangan. Dengan berpenampilan layaknya seorang wanita muslimah yang menggunakan jilbab dan pakaian tertutup, Icha berhasi mengelabui korban.

Selama enam bulan ini, Icha bersedia melakukan hubungan intim tetapi dengan dua syarat. Pertama, lampu harus dimatikan untuk menyamarkan identitas aslinya.
Syarat kedua, Icha menolak setiap kali berhubungan intim dengan cara terlentang. Icha hanya berkenan berhubungan intim dengan posisi, maaf, dari belakang.
“Rahmat Sulistiyo ini diduga mengidap penyimpangan mental dan homoseksual,” kata Kapolres Metro Bekasi, Komisaris Besar Polisi Imam Sugianto dalam perbincangan dengan VIVAnews.com, Minggu 3 April 2011. Berikut VIDEO: Istri Berkelamin Pria.

Jumat, 24 September 2010

SOE HOK GIE dan Gunung Semeru



SOE HOK GIE: Kenangan Kepada Seorang Demonstran
Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak Gunung Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.
“Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan,” kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.
Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. “Kita juga akan berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu,” lanjutnya.
Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. “Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru … perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu,” begitu bunyi naskah buku kecil acara “Mengenang Seorang Demonstran”, (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.
Kasih Batu dan Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.
Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan‘ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Mengapa Naik Gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” Tanyanya.
Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.
Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini,” kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.
Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.
Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Monyet Tua Yang Dikurung
Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: “… Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ….”
Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”, memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata “sakti” filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang … makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Arief pun menulis kenangannya lagi: … di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik … dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan … saya terbangun dari lamunan … saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, “Gie kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.
Mimpi seorang Mahasiswa Tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.
Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus:
…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.
Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut:
… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.
Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis,
… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!
Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini:
Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda, bangkit dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan:
… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.
Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.
Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis:
… Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.
Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.
Berpolitik Cuma Sementara
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini,
“Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas.”
Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun … namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa.”
Demikian tulis Maxwell.
Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.
Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.
Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya “Pesan” dan cukilan pentingnya berbunyi:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi.
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?



di kutip dari sebuah situs http://catros.wordpress.com/2007/05/02/soe-hok-gie-dan-gunung-semeru/

Kamis, 16 September 2010

Cinta dalam Hati........

Hati (bahasa Yunani: ἡπαρ, hēpar) merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.



**diambil dari web dengan situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Hati

itu menurut salah satu halaman  web yang dapat kita jumpai selama ini...... namun kadang kita mempunyai arti yang berbeda kan.. heheheh mengenai hati itu sendiri.. apa lagi bagi kalian-kalain yang suka sekalai sama yang namnya rasa cinta yang hubungannya erat sekali dengan hati.. kwakwkakw :P

Tuhan kita yaitu ALLAH SWT pun telah memeberikan rasa cinta yang telah dimasukkan dalam hati kita....
menurut salaah satu blog juga kalo gk salah bunyinya seperti ini

"Dalam beberapa ayat, Allah menyatakan bahwa Dialah Yang memasukkan perasaan cinta dan kasih sayang ke dalam hati manusia. Misalnya, Allah telah menyatakan dalam ayat di bawah ini bahwa Dialah Yang mengum­pul­kan orang-orang beriman dan menyatukan hati mereka sebagai saudara:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepa­da tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepa­da­mu ketika kamu dahulu bermusuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demiki­an­lah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.s. Ali Imran: 103)."

Begitu tuh lawan..................

Cinta adalah satu perkataan yang mengandungi makna perasaan yang rumit.

tapio kadang cinta membuat kita berpusing-pusing ria kadang-kadang jug abikin kita ketawa ketiwi sendiri kanyak oranag begok..... tapi kalo cinta udah bikin kita nangis wahhh.... itu beda lagi kawan.. cukup aku dah yang kanyak ftu dah... hahahah *curhat nieh ceritanya.........

Mungkin ini juag berbagi dengan kawan2 pembaja semuanyaa,, y meskipun yan gbaca ada ap agk tuh,, jadilah kalian sebagai pasangan yang setia tuh,, eeettsss____ buakan (setiao tikungan ad) atau (selingkuh tiada akhir) loh.... tapi makna setia yang sebenarnya tuh......

tetapi kadang-kadang ketika berusaha menjadi oran gyan g setia ada saja ujian buat kita.. contohnya saja aku.. hehehe curhat lagi dah nieh... memang kita tidak macam2 tapi ujiannya yang kita hadapi mesti berat.. tapi tenang saja kawan,, ketika kita dapat ujian yan gberat,, maka disitulah kita diangkat derajadnya oleh yan gmaha Kuasa... hehe


mumpung belum balik k sby aku ketik ketik ini dulu dch.. hehehehehe